Rabu, 30 Januari 2013

air dan kehidupan

Pagi itu awal aku tiba di Jogjakarta kelurahan glagaharjo kecamatan sleman DI yogyakarta setelah pasca gunung berapi hanya aku sendiri bersama sebuah jasa travel yang hampir tak memungkinkan kami untuk menuju lokasi rumah kakek ku yang berada di glagaharjo. Saat kulihat sekitar kali hidup kini tak mengalir seperti saat terakhir lalu ku singgah disini. Hingga kakek dan nenek ku menyambutku gembira , namun tragis saat kulihat beberapa rumah disekitar sini banyak yang runtuh dan hancur. Bahkan banyak diatara mereka meregang nyawa akibat letusan gunung berapi yang telah meluluh lantakkan tempat ini dua minggu yang lalu hingga petugas tim evakuasi menyatakan dari siaga satu ke siaga tiga. Kakek ku enggan tinggal di camp pengungsian, hanya kusanggupkan dua hari tinggal di sini dikarenakan sumber air yang tidak mengalir namun sekali nya dialiri masih mengandung banyak belerang yang kuragu untuk dapat di minum. Pasokan air ke desa ini sungguh terbatas dan keluarga ku hanya bertahan dengan meminum air sumber yang dimasak berulang kali , bahkan seringkali aku bertayamum karena sulit nya air. Kakek mengajak ku kesebuah ladang nya yang menjadi kering sedih melihat nya bersimpuh menangisi seluruh area cocok tanam nya hancur hingga beliau menunjuk ke sebuah sumur yang menjadi satu satu nya air yang bisa menghidupi keluarga kami untuk sementara , sumur itu bukan milik kami namun pemilik nya sudah menjadi korban keganasan gunung berapi menelan dua tujuh korban jiwa. Sehari sudah aku di desa ini namun kulitku terasa gatal dan perih karena mandi di sumber air yang penuh belerang itu padahal sudah dimasak terlebih mengandung belerang. Seharus nya pagi ini aku sudah menyesap secangkir kopi bersama dingin nya pagi di Yogyakarta namun aku harus berjibaku dengan dahan pohon kelapa yang masih kokoh meski daun nya sudah terlihat kering kucoba saja memetik buah tropis tersebut dan entah terasa sedikit agak pahit tak seperti biasa nya kelapa ini namun kutuntaskan dahaga ku saja. Aku merindukan air putih biasa untuk kuminum, sedangkan pasokan air bersih belum juga datang. Terpaksa aku harus menahan dahaga hingga sore hari, setiba nya sebuah mobil berisi pasokan air datang kami beserta warga desa terlihat amat senang. Mobil itu mengisi air dalam sebuah wadah kemudian warga bergantian mengambil nya. Sebegitu penting nya kah arti air tersebut, hingga kakek mengatakan bahwa di Jakarta itu ‘lakone wong sugih’ air di kumpulin Cuma buat berenang kemudian di buang, ‘neng kene rak ngombe rak urip’ artinya disini tidak minum berarti tidak hidup. Hingga aku kembali ke kota ku di tangerang membawa sejuta pesan untuk keluarga ku disini untuk menyayangkan air, hingga perhatian ku terpaku oleh seorang tukang air membawa gerobak berisi air bersih seharga Rp 2500. Mengapa air memiliki harga, apa karena kurang nya sumber air bersih di negri ini? Nenek moyang kita menitipkan tanah air untuk kita jaga, mengapa disalah gunakan untuk aliran sampah produksi berupa zat kimia menyebabkan kehidupan didalam nya mati. Kami semua punya anak dan anak kami juga akan memiliki anak dan terus begitu dan apa yang akan kita sisakan nanti untuk mereka di masa depan? apakah nanti udara bersih juga akan memiliki harga, hingga nanti kita melihat di toko toko pinggir jalan dan pedagang akan menjual ‘udara bersih segar’ seharga Rp10.000 ?. hingga pada saat nya ibukota akan tertutup sampah yang mereka buang ke sungai, kemudian mereka menyalahkan pemimpin nya? Tak ada yang salah dengan negeri ini, banyak poster poster bertemakan ‘go green, air sehat, tanpa polusi’ untuk apa merubah kota ini kalau tak memulai nya dari diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar